Sejak awal dunia di cipatakan dan manusia diturunkan ke bumi, Allah memaksudkan untuk menguji (Qs. Al Mulk : 2). Segala tantangan, kesenangan, kesedihan, dan apapun yang ada dalam hidup adalah materi ujian. Tapi manusia acapkali lupa bahwa sesuatu yang ada didepannya itu adalah bentuk bentuk ujian. Manusia tidak waspada dan cenderung berpikir, memutuskan dan berbuat menurut apa kata nafsunya bagaimana enak dan gampangnya saja. Padahal, untuk bisa selamat dan berhasil mengerjakan ujian itu harus melewati jalan dan pemikiran yang sulit dan berliku - liku.
Antara lain, masalah kecintaan dan ingatan kepada keluarga yang sering kali melupakan dari ingatan dan cinta kepada allah. Seperti yang kita bahas di atas, bahwa ternyata manusia lebih banyak mengingat lain-lain di muka bumi ini dari pada Allah sebagai pencipta. Segala barang barang dan makhluk yang ada di duia ini di pasang dan dipajang adalah jebakan dan ujian. Tapi manusia merebut dan mencintainya sampai melupakan Sang Kholiq sebagai pemilik, pencipta sekaligus penguji. Selama ini menusia kebanyakan tidak ada yang merasa dan mengira bahwa anak anak dan istri- istri yang dicintai itu sesungguhnya adalah musuh dan materi ujian. Musuh dalam pengertian sebagai salah satu faktor yang harus diwaspadai dan disikapi dengan hati-hati.
Sangat mungkin dan sewaktu-waktu anak, istri dan harta bisa menjadikan manusia lupa kepada Allah. Lupa kepada kewajiban sebagai hamba yang harus mengabdi kepada Tuhan, karena sibuk menuruti kemauan dan kebutuhan anak istri. Kalau sampai hal ini yang terjadi maka sesungguhnya manusia sudah terkuasai dan terkalahkan musuhnya. Ingat ayat di atas (Qs. At Taubah : 24). Ketika manusia lebih banyak ingatan dan cintanya kepada lain- lain termasuk bapak, anak , istri, saudara, keluarga, harta hasil usaha perdagangan yang dikhawatirkan kebangkrutannya, tempat tinggal yang disenangi dari pada Allah dan Rasul-Nya, maka itulah ciri orang fasiq. Lalu siapa kini yang tidak terlibat fasiq. Sudah pasti sedikit sekali manusia yang tidak lebih mencintai anak istri dan lain dari pada Allah. Manusia tidak sadar bahwa sebenarnya dipasangnya rasa cinta dalam hati adalah godaan dan butir ujian. Yang harus dilalui dalam perjalanan dengan selalu meminta petunjuk kepada Allah. Jangan senantiasa diturutkan apa saja yang menjadi kutikan hati.
Artinya: Hai orang orang yang beriman sesungguhnya di antara istri-istri dan anak anakmu, ada yang menjadi musuhmu 1) karena itu berhati-hatilah teradap mereka. Namun jika kamu maafkan, kamu santuni, dan kamu ampuni kesalahan mereka, maka Allah Maha Pengampun dan Panyayang. - Sesungguhnya cinta terhadap harta dan anak anakmu adalah cobaan belaka. Padahal disisi Allah ada pahala yang lebih besar dari itu. (Qs. 64 : 14-15)
1.Maksudnya, sewaktu waktu anak dan istri seseorang, dapat menjerumuskannya untuk melakukan usaha haram, serta perbuatan perbuatan yang tidak dibenarkan agama demi sayang anak.
Setidaknya saat ini, banyak yang belum sadar bahwa tumbuhnya rasa cinta dalam hati manusia kepada anak dan harta adalah faktor uji yang harus diselesaikan manusia. Jadi rasa itu hendaknya jangan dianggap sebagai hal yang biasa. Terkadang kecintaan kepada anak dan harta menjadikan seseorang - secara wajar - melupakan tugas utamanya sebagai hamba Allah yang harus mengabdi kepada Allah. Tuntutan kebutuhan (nafsu) diri dan keluarga, membuat seseorang sulit mengeluarkan harta demi kebutuhan bangsa dan agama. Padahal sebenarnya kewajiban mensejahterakan anak dan keluarga yang terutama adalah kesejahteraan di akherat. Dan harta yang manusia miliki, semestinya dipergunakan untuk menunjang hal itu. Dengan jalan didermakan kepada sesama yang membutuhkan, tapi kenyataan manusia terbalik dari yang seharusnya.
Kecintaan manusia teramat sangat kepada anak istri, sementara hartanya dicurahkan sepenuhnya untuk mengikuti rasa cinta itu. Sekali waktu timbul keinginan bersedekah, tapi karena istri minta dibelikan cincin, kalung atau perabot mewah, seseorang mengurungkan niatnya. Di lain kesempatan tergugah hati seseorang untuk menyantuni kaum papa, tiba-tiba si anak minta dibeikan mobil atau kesenangan lain, urung pula niat baik tersebut. Atau justru ketika ada kebutuhan bangsa dan agama yang mendesak, namun kecintaan seseorang terhadap hartanya, membuatnya berat untuk melepaskan demi kebutuhan bangsa dan agama itu. Padahal sesungguhnya untuk kepentingan itulah Allah menitipkan harta benda kepada manusia.
Manusia merasa bahwa hartanya yang akan membahagiakan dan melanggengkan mereka. Walaupun kenyataan yang mereka alami membuktikan sebaliknya. Harta membuat manusai dikejar-kejar waktu dan kesibukan, yang hanya berbuah kelelahan dan upah makan. Sementara di akhirat tersiksa karena kelalaian dan lupa menyantuni Allah. Dan inilah yang akan menjadikan manusia bersama anak, keluarga dan hartanya menemukan dirinya di akhirat dalam kerugian, tenggelam dalam penyesalan. Seperti rambu rambu dari Allah berikut :
Artinya: Hai orang orang yang beriman, janganlah harta dan anak-anakmu sampai melalaikanmu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian, itulah orang orang yang rugi. (Qs. 63 : 9)
Kerugian itu baru akan mereka sadari saat berada di alam kubur dan hari akhirat. Kesadaran yang tidak ada gunanya, tidak ada pengaruhnya terhadap fonis siksa yang sudah menanti. Padahal saat di dunia mereka merasa hartanya merupakan sumber kebehagiaan dan jaminan keamanan dari kondisi apapun. Sehingga nafsu untuk mencari, menambah dan mengumpulkan harta sebanyak dan sebisa mungkin terus di lakukan. Manusia lupa bahwa sebentar lagi akan masuk kubur, manusia lupa bahwa hidup di sana juga butuh persiapan.
by: KOMUNITAS PECINTA, PENGHAFAL, DAN PENGAMAL AL-QURAN