TUHAN (2/4)

Karena  itu  ketika  memaparkan  tauhid kepada umatnya, Nabi
mulia ini tidak lagi berkata sebagai Nabi-nabi sebelumnya
berkata,

"Sembahlah Allah, kalian tidak memiliki Tuhan selain-Nya,"

tetapi dinyatakannya,

"Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya, yang demikian
itu lebih baik untukmu kalau kamu mengetahuinya" (QS
Al-'Ankabut [29]: 16)

Dan dinyatakannya bahwa Tuhan yang disembah adalah Tuhan
seru sekalian alam, bukan Tuhan suku, bangsa dan jenis
makhluk tertentu saja.

"Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama
yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan" (QS Al-'An'am [6]: 79).

"Dia (Ibrahim) berkata (kepada kaumnya), 'Sebenarnya Tuhan
kamu adalah Tuhan seluruh langit dan bumi yang telah
menciptakannya, dan aku termasuk orang-orang yang dapat
memberikan bukti atas yang demikian itu" (QS Al-Anbiya,
[21]: 56).

Terlihat juga dari Al-Quran bagaimana beliau "berdiskusi"
dengan umatnya dalam rangka membuktikan kesesatan mereka,
dan menunjukkan kebenaran akidah tauhid (antara lain surat
Al-Anbiya, [21]: 51-67).

Demikianlah tahap baru dalam uraian tauhid, dan karena itu
-seperti ditulis oleh Abdul-Karim Al-Khatib dalam buku
karyanya, Qadhiyat Al-Uluhiyyah baina Al-Falsafah wa Ad-Din-
sejak Nabi Ibrahim, sampai dengan nabi-nabi sesudahnya tidak
dikenal lagi pemusnahan total bagi umat satu Nabi
sebagaimana yang terjadi terhadap umat-umat sebelumnya.

Pemaparan tauhid pun dari hari ke hari semakin mantap dan
jelas hingga mencapai puncaknya dengan kehadiran Nabi
Muhammad Saw.

Uraian Al-Quran tentang Tuhan kepada umat Nabi Muhammad Saw.
dimulai dengan pengenalan tentang perbuatan dan sifat-Nya.
Ini terlihat secara jelas ketika wahyu pertama turun.

"Bacalah demi Tuhan-Mu yang menciptakan (segala sesuatu).
Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah dan
Tuhan-mulah yang (bersifat) Maha Pemurah, yang mengajar
manusia dengan qalam, mengajar manusia apa yang tidak
diketahui(-nya)" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).

Dalam rangkaian wahyu-wahyu pertama. Al-Quran menunjuk
kepada kepadaTuhan Yang Maha Esa dengan kata Rabbuka (Tuhan)
Pemeliharamu (Wahai Muhammad), bukan kata "Allah."1

Hal ini untuk menggarisbawahi Wujud Tuhan Yang Maha Esa,
yang dapat dibuktikan melalui ciptaan atau perbuatan-Nya.

Dari satu sisi memang dikenal satu ungkapan yang oleh
sementara pakar dinilai sebagai hadis Qudsi yang berbunyi:

"Aku adalah sesuatu yang tersembunyi, Aku berkehendak untuk
dikenal, maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku."

Di sisi lain, tidak digunakannya kata "Allah" pada
wahyu-wahyu pertama itu, adalah dalam rangka meluruskan
keyakinan kaum musyrik, karena mereka juga menggunakan kata
"Allah" untuk menunjuk kepada Tuhan, namun keyakinan mereka
tentang Allah berbeda dengan keyakinan yang diajarkan oleh
Islam.

Mereka misalnya beranggapan bahwa ada hubungan antara
"Allah" dan jin (QS Al-Shaffat [37]: 158), dan bahwa Allah
memiliki anak-anak wanita (QS Al-Isra' [17]: 40), serta
manusia tidak mampu berhubungan dan berdialog dengan Allah,
karena Dia demikian tinggi dan suci, sehingga para malaikat
dan berhala-berhala perlu disembah sebagai
perantara-perantara antara mereka dengan Allah (QS Al-Zumar
[39]: 3)

Dan kekeliruan-kekeliruan itu, maka Al-Quran melakukan
pelurusan-pelurusan yang dipaparkannya dengan berbagai gaya
bahasa, cara dan bukti. Sekali dengan pernyataan tegas yang
didahului dengan sumpah, misalnya:

"Demi (rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya,
dan demi (rombongan) yang melarang (perbuatan durhaka)
dengan sebenar-benamya, dan demi (rombongan) yang membacakan
pelajaran. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa, Tuhan
langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, dan
Tuhan tempat-tempat terbitnya matahari" (QS Al-Shaffat [37]:
1-5).

Dalam ayat lain diajukan pertanyaan yang mengandung kecaman,

"Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang banyak bermacam-macam
itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa?" (QS Yusuf
[12]: 39).

Kemudian Al-Quran juga menggunakan gaya perumpamaan,
seperti:

"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung
selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah.
Sesungguhnya rumah yang paling rapuh adalah rumah laba-laba,
kalau mereka mengetahui" (QS Al-'Ankabut [29]: 41).

Ayat ini memberi perumpamaan mengenai orang-orang yang
meminta perlindungan kepada selain Allah, sebagai serangga
yang berlindung ke sarang laba-laba. Serangga itu tentu akan
terjerat menjadi mangsa laba-laba, dan bukannya terlindung
olehnya. Bahkan jangankan serangga yang berlainan jenisnya,
yang satu jenis pun seperti jantan laba-laba, berusaha
diterkam oleh laba-laba betina begitu mereka selesai
berhubungan seks. Kemudian telur-telur laba-laba yang baru
saja menetas, saling tindih-menindih sehingga yang menjadi
korban adalah yang tertindih.

Dalam kesempatan lain, Al-Quran memaparkan kisah-kisah yang
bertujuan menegakkan tauhid, seperti kisah Nabi Ibrahim
ketika memorak-porandakan berhala-berhala kaumnya (QS
Al-Anbiya' [21]: 51-71)

BUKTI-BUKTI KEESAAN TUHAN

Ada sementara orang yang menuntut bukti wujud dan keesaan
Tuhan dengan pembuktian material. Mereka ingin segera
melihat-Nya di dunia ini. Nabi Musa a.s. suatu ketika pernah
bermohon agar Tuhan menampakkan diri-Nya kepadanya, sehingga
Tuhan berfirman sebagai jawaban atas permohonannya,

"'Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku. Tetapi
lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya [seperti
keadaannya semula), niscaya kamu dapat melihat-Ku.' Tatkala
Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian tersebut
menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh
pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, 'Maha
suci Engkau, aku bertobat kepada-Mu, dan aku orang yang
pertama (dari kelompok) orang beriman'" (QS Al-A'raf [7]:
143).

Peristiwa ini membuktikan bahwa manusia agung pun tidak
berkemampuan untuk melihat-Nya -paling tidak- dalam
kehidupan dunia ini. Agaknya kenyataan sehari-hari
menunjukkan bahwa kita dapat mengakui keberadaan sesuatu
tanpa harus melihatnya. Bukankah kita mengakui adanya angin,
hanya dengan merasakan atau melihat bekas-bekasnya? Bukankah
kita mengakui adanya "nyawa" bukan saja tanpa melihatnya
bahkan tidak mengetahui substansinya?

Di sisi lain ada dua faktor yang menjadikan makhluk tidak
dapat melihat sesuatu. Pertama, karena sesuatu yang akan
dilihat terlalu kecil apalagi dalam kegelapan. Sebutir pasir
lebih-lebih di malam yang kelam tidak mungkin ditemukan oleh
seseorang. Namun kegagalan itu tidak berarti pasir yang
dicari tidak ada wujudnya. Faktor kedua adalah karena
sesuatu itu sangat terang. Bukankah kelelawar tidak dapat
melihat di siang hari, karena sedemikian terangnya cahaya
matahari dibanding dengan kemampuan matanya untuk melihat?
Tetapi bila malam tiba, dengan; mudah ia dapat melihat.
Demikian pula manusia tidak sanggup menatap matahari dalam
beberapa saat saja, bahkan sesaat setelah menatapnya ia akan
menemukan kegelapan Kalau demikian wajar jika mata kepalanya
tak mampu melihat Tuhan Pencipta matahari itu.

Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya
bernama Zi'lib Al-Yamani,

"Apakah Anda pernah melihat Tuhan?" Beliau menjawab,
"Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?"
"Bagaimana Anda melihat-Nya?" tanyanya kembali. Imam Ali
menjawab,"Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya
yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat
keimanan ..."

Mata hati jauh lebih tajam dan dapat lebih meyakinkan
daripada pandangan mata. Bukankah mata sering menipu kita?
Kayu yang lurus terlihat bengkok di dalam sungai, bintang
yang besar terlihat kecil dari kejauhan.

Dalam kaitan dengan argumen-argumen dan bukti-bukti logika,
kita dapat menyatakan bahwa tidak ada satu argumen yang
dikemukakan oleh para filosof tentang Wujud dan Keesaan
Tuhan yang tidak dikemukakan Al-Quran. Hanya bedanya bahwa
kalimat-kalimat yang digunakan Al-Quran sedemikian sederhana
dan mudah ditangkap, berbeda dengan para filosof yang
seringkali berbelit-belit.

Dahulu dikenal apa yang dinamai bukti ontologi, kosmologi,
dan teleologi. Bukti ontologi menggambarkan bahwa kita
mempunyai ide tentang Tuhan, dan tidak dapat membayangkan
adanya sesuatu yang lebih berkuasa dan-Nya. Bukti kosmologi
berdasar pada ide "sebab dan akibat" yakni, tidak mungkin
tertadi sesuatu tanpa ada penyebabnya, dan penyebab terakhir
pastilah Tuhan. Bukti teleologi, berdasar pada keseragaman
dan keserasian alam, yang tidak dapat terjadi tanpa ada satu
kekuatan yang mengatur keserasian itu

Kini para filosof memperkenalkan bukti-bukti baru, seperti
pengalaman moral. Pengalaman moral merupakan tanda tentang
adanya yang real; pengalaman ini tidak akan berarti tanpa
adanya susunan moral yang objektif, dan ini pada gilirannya
tidak akan berarti tanpa adanya satu Zat Yang Mahatinggi,
Tuhan Yang Mahakuasa.

Bukti lain adalah pengalaman keagamaan yang dialami oleh
kebanyakan manusia yang tidak diragukan kejujurannya, dan
yang intinya mengandung informasi yang sama.

Bukti-bukti yang dipaparkan di atas, dikemukakan oleh
Al-Quran dengan berbagai cara, baik tersurat maupun
tersirat.

Secara umum kita dapat membagi uraian Al-Quran tentang bukti
Keesaan Tuhan dengan tiga bagian pokok, yaitu:

1. Kenyataan wujud yang tampak.
2. Rasa yang terdapat dalam jiwa manusia.
3. Dalil-dalil logika.

1. KENYATAAN WUJUD YANG TAMPAK

Dalam konteks ini Al-Quran menggunakan seluruh wujud sebagai
bukti, khususnya keberadaan alam raya ini dengan segala
isinya. Berkali-kali manusia diperintahkan untuk melakukan
nazhar, fikr, serta berjalan di permukaan bumi guna melihat
betapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa ada yang
mewujudkannya.

"Tidakkah mereka melihat kepada unta bagaimana diciptakan,
dan ke langit bagaimana ia ditinggikan, ke gunung bagaimana
ia ditancapkan, serta ke bumi bagaimana ia dihamparkan?" (QS
Al-Ghasyiyah [88]: l7-20).

Dalam uraian Al-Quran tentang kenyataan wujud,
dikemukakannya keindahan dan keserasian alam raya.

"Tidakkah mereka melihat ke langit di atas mereka, bagaimana
Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak
mempunyai retak-retak sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi
serta Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh, dan
Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah
dipandang mata." (QS Qaf [50]: 6-7).

Adapun keserasiannya, maka dinyatakannya:

"(Allah) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu
sama sekali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha
Pengasih sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang, adakah sesuatu yang kamu lihat tidak
seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya
penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan
sesuatu pun yang cacat, dan penglihatanmu itu pun dalam
keadaan payah" (QS Al-Mulk [67]: 3-4).

(bersambung 3/4)

WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Tidak ada komentar: