TUHAN (4/4)

4. KEESAAN DALAM BERIBADAH KEPADA-NYA

Kalau ketiga keesaan di atas merupakan hal-hal yang harus
diketahui dan diyakini, maka keesaan keempat ini merupakan
perwujudan dari ketiga makna keesaan terdahulu.

Ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satu
ragamnya yang paling jelas, adalah amalan tertentu yang
ditetapkan cara dan atau kadarnya langsung oleh Allah atau
melalui Rasul-Nya, dan yang secara populer dikenal dengan
istilah ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya
yang umum, mencakup segala macam aktivitas yang dilakukan
demi karena Allah.

Nah, mengesakan Tuhan dalam beribadah, menuntut manusia
untuk melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah, baik
sesuatu itu dalam bentuk ibadah mahdhah (murni), maupun
selainnya. Walhasil, keesaan Allah dalam beribadah
kepada-Nya adalah dengan melaksanakan apa yang tergambar
dalam firman-Nya,

"Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan
matiku, (seterusnya) karena Allah, Pemelihara seluruh alam'"
(QS Al-An'am [6]: 162).

ALLAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Salah satu ayat yang menggambarkan dampak kehadiran Allah
dalam jiwa manusia adalah firman-Nya,

"Allah membuat perumpamaan, (yaitu) seorang lelaki (budak)
yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling
berselisih (buruk perangai mereka), dengan seorang budak
yang menjadi milik penuh dari seorang saja. Adakah keduanya
(budak-budak itu) sama halnya? Segala puji bagi Allah,
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]:
29).

Ayat ini bermaksud menggambarkan bagaimana keadaan seseorang
yang harus taat kepada sekian banyak orang yang memilikinya,
tetapi pemilik-pemiliknya itu saling berselisih dan buruk
perangainya. Alangkah bingung ia. Yang ini memerintahkan
satu hal, belum lagi selesai datang yang lain mencegah atau
memerintahkannya dengan perintah lain, yang ketiga pun
demikian. Begitu seterusnya, sehingga pada akhirnya budak
itu hidup dalam kompleks kejiwaan yang tidak diketahui
bagaimana cara menanggulanginya. Bandingkanlah hal itu
dengan seorang budak lain yang hanya menjadi milik penuh
seseorang sehingga ia tidak mengalami kebingungan atau
kontradiksi dalam kesehariannya.

Menarik dikemukakan alasan Murtadha Muthahhari yang juga
memahami sebagaimana ulama-ulama lain -arti kata rajulan
pada ayat di atas dengan "budak." Ulama tersebut menulis
dalam bukunya Allah dalam Kehidupan Manusia bahwa: Sementara
orang ada yang membuat kemungkinan berikut, yakni bahwa
manusia berkeinginan untuk hidup bebas (tanpa kendali).
Sesungguhnya keinginan ini (walaupun merupakan sesuatu yang
mustahil) menjadikan manusia keluar dari kemanusiaannya,
karena ini berarti bahwa ketika itu dia tidak mengakui
adanya hukum, tujuan, keinginan atau ide -dalam arti dia
kosong sama sekali dari keyakinan tertentu, dan keadaan
demikian mencabutnya dari hakikat kemanusiaan. Keadaan
semacam ini tidak ada wujudnya dalam kehidupan manusia di
dunia. Orang-orang yang menghendaki kehidupan sebebas
mungkin, serta tidak mengakui adanya sedikit peraturan pun,
pasti hidup mereka pun dilandasi oleh keyakinan (ide
tertentu) atau berusaha mencari ide/keyakinan tertentu.
Usaha ini menunjukkan bahwa manusia harus menerima wewenang
pengaturan dari keyakinan (ide yang ada dalam benaknya).
Jika demikian, tidak heran jika Al-Quran menggunakan
istilah-istilah yang mengandung arti budak (seseorang yang
dimiliki oleh pihak lain).

Keadaan yang digambarkan oleh ayat di atas, terbukti
kebenarannya dalam kenyataan hidup orang-orang yang lemah
imannya, atau memiliki sekian banyak ide atau keyakinan yang
saling bertentangan. Sekali dia taat kepada Tuhan, lain kali
dia taat kepada setan, sekali dia ke masjid, lain kali ke
klub malam. Orang semacam ini dikuasai atau menjadi budak
sekian penguasa yang buruk perangainya sehingga pada akhimya
ia mengidap kepribadian ganda (split personality), yang
merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk
penyakit kejiwaan. Kalau demikian wajar jika Al-Quran
menegaskan bahwa,

"Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tenteram" (QS Al-Ra'd [13]: 28).

Kalau dalam ayat lain Al-Quran menegaskan bahwa seandainya
pada keduanya (langit dan bumi) terdapat banyak Tuhan
(Pengusa yang mengatur alam) selain Allah, maka pastilah
keduanya akan binasa (QS Al-Anbiya, [21]: 22), maka dalam QS
Al-Zumar [39]: 29 di atas, Allah berpesan bahwa seandainya
di dalam jiwa seseorang ada banyak tuhan atau penguasa yang
mengatur hidupnya, maka pasti pula jiwanya akan rusak
binasa.

Kalau uraian di atas membuktikan kebutuhan jiwa manusia
kepada akidah tauhid, maka rangkaian pertanyaan berikut
dapat menjadi salah satu bukti tentang kebutuhan akalnya
terhadap akidah ini. Pertanyaan dimaksud adalah: "Siapa yang
menjamin bila Anda melontar ke depan, maka batu itu tidak
mengarah ke belakang? Apa yang menjamin bahwa air selalu
mencari tempat yang rendah? Apa yang mengantar ilmuwan untuk
memperoleh semacam, kepastian, dalam langkah-langkahnya?"
Kepastian tersebut tidak mungkin dapat diperoleh kecuali
melalui keyakinan tentang wujud Tuhan Yang Maha Esa. Karena
jika Tuhan berbilang, maka sekali tuhan ini yang mengatur
alam dan menetapkan kehendak-Nya dan kali lain tuhan yang
itu. Apa yang menjamin kepastian itu, seandainya Tuhan Yang
mengatur hukum-hukum dan tata kerta alam raya, juga butuh
kepada sesuatu? Sudah dapat dipastikan tidak ada yang dapat
menjamin!

Jika demikian, tauhid bukan saja merupakan hakikat kebenaran
yang harus diakui karena diperlukan oleh jiwa manusia,
tetapi juga merupakan kebutuhan akalnya demi kemajuan dan
kesejahteraan umat manusia. Wajar jika perkembangan
pemikiran manusia tentang Tuhan, berakhir pada monoteisme
murni, setelah pada awalnya menganut keyakinan politeisme
(banyak tuhan), kemudian dua tuhan, disusul dengan
kepercayaan tentang adanya satu Tuhan. dan berakhir dengan
tauhid murni (keesaan mutlak) yang dianut oleh umat Islam.

Apabila seseorang telah menganut akidah tauhid dalam
pengertian yang sebenarnya, maka akan lahir dari dirinya
berbagai aktivitas, yang kesemuanya merupakan ibadah kepada
Allah, baik ibadah dalam pengertiannya yang sempit (ibadah
murni) maupun pengertiannya yang luas. Ini disebabkan karena
akidah tauhid merupakan satu prinsip lengkap yang menembus
semua dimensi dan aksi manusia. Karena itu,

"Allah tidak mengampuni siapa yang mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu, dan dapat mengampuni selain itu bagi siapa
yang Dia kehendaki (QS Al-Nisa, [4]: 48).

Kalau dalam alam raya ini ada matahari yang menjadi sumber
kehidupan makhluk di permukaan bumi ini, dan yang
berkeliling padanya planet-planet tata surya yang tidak
dapat melepaskan diri darinya, maka akidah tauhid merupakan
matahari kehidupan ruhani dan yang berkeliling di sekitarnya
kesatuan-kesatuan yang tidak dapat pula melepaskan diri atau
dilepaskan darinya. Kesatuan dimaksud antara lain adalah
kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat,
kesatuan natural dan supranatural, kesatuan ilmu, kesatuan
agama, kesatuan kemanusiaan, kesatuan umat, kesatuan
kepribadian manusia, dan lain-lain.

Prinsip lengkap ini harus terus-menerus dipelihara, diasah,
dan diasuh. Memang boleh jadi seorang Muslim mengalami
godaan sehingga timbul tanda tanya menyangkut kehadiran
Allah Yang Maha Esa itu. Yang demikian adalah wajar-wajar
saja, asal ia selalu berupaya untuk mengusir godaan itu. Hal
ini dialami juga oleh para sahabat Nabi Saw. Mereka yang
mengadukan pengalamannya kepada beliau ditanggapi oleh Nabi
Saw. dengan bersabda,

"Segala puji bagi Allah yang menangkal tipuannya (setan)
menjadi waswasah (bisikan)."

Sahabat Nabi, Ibnu Abbas, pernah ditanya oleh Abu Zamil
Sammak ibn Al-Walid, "Apakah yang saya rasakan di dalam
dadaku (ini)?" "Apakah itu," tanya Ibnu Abbas. "Demi Allah
saya tidak akan mengatakannya." Ibnu Abbas bertanya balik,
"Apakah semacam syak atau keraguan?" Si penanya mengiyakan.
Ibnu Abbas kemudian berkata, "Tidak seorang pun (dari kami)
yang terbebaskan dari yang demikian, sampai turun firman
Allah:

"Apabila kamu dalam keraguan dari apa yang Kami turunkan
kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca
kitab sebelum kamu" (QS Yunus [10]: 94).

Apabila engkau mendapatkan hal itu bacalah, Dia yang Awal,
Dia Yang Akhir, Dia Yang Zhahir (tampak melalui
ciptaan-Nya), Dia juga Yang Batin (tak tampak hakikat
Zat-Nya), dan Dia. Maha Mengetahui segala sesuatu."

Demikian Allah Swt. Karena itu wajar kita bermohon:

"Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami
condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada
kami, karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu.
Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi anugerah" (QS Ali 'Imran
13]: 8).[]

Catatan kaki:
-------------
1 Wahyu pertama adalah lima ayat pertama surat Al-'Alaq. Di
sana tidak ada kata "Allah.". Wahyu kedua adalah beberapa
ayat dari surat Al-Qalam. dalam surat ini tidak disebut
kata "Allah." Wahyu ketiga adalah awal surat Al-Muzammil.
Dalam surat ini kata Rabbika ditemukan dua kali, dan kata
"Allah" tujuh kali, yaitu pada ayat terakhir (kedua puluh).
Dapat dipastikan bahwa ayat terakhir tersebut turun setelah
Nabi hijrah ke Madinah, karena ayat tersebut berbicara
tentang keterlibatan para sahabat dalam peperangan,
sedangkan peperangan pertama baru terjadi pada tahun kedua
Hijriah.

Wahyu keempat adalah awal suratAl-Muddatstsir (tujuh ayat
pertama). Dalam tujuh ayat pertama tersebut kata pengganti
Tuhan Yang Maha Esa adalah "Rabbika" yang disebut sebanyak
dua kali. Benar bahwa dalam surat tersebut ditemukan kata
"Allah" sebanyak empat kali, tetapi ayat-ayatnya bukan
merupakan rangkaian wahyu-wahyu pertama.

Wahyu kelima adalah surat Al-Lahab (Tabbat) . Dalam surat
ini tidak ditemukan kata apa pun yang menunjukkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.

Wahyu keenam adalah surat At-Takwir. Pada ayat terakhir
(ke-29) surat ini, ditemukan kata dengan predikat Rabbul
'Alamin, namun seperti yang diriwayatkan oleh banyak ulama,
ayat itu turun terpisah dari ayat-ayat sebelumnya.

Wahyu ketujuh adalah surat "Sabbihisma." Dalam surat ini
disebutkan kata-kata "Rabbuka," "Allah," dan "Rabbihi"
masing-masing sekali. Di sõnilah kata "Allah" disebutkan
untuk pertama kalinya dalam rangkaian wahyu-wahyu Al-Quran.
Namun perlu digarisbawahi bahwa surat ini justru menjelaskan
sifat-sifat Allah Yang Mahasuci, serta perbuatan-
perbuatan-Nya.

Wahyu kedelapan adalah Alam Nasyrah, wahyu kesembilan
Al-Ashr, wahyu kesepuluh Al-Fajr, wahyu kesebelas Adh-Dhuha,
wahyu kedua belas Al-Lail, wahyu ketiga belas Al-'Adiyat,
wahyu keempat belas Al-Kautsar, wahyu kelima belas
At-Takwir, wahyu keenam belas At-Takatsur, wahyu ketujuh
belas Al-Ma'un, wahyu kedelapan belas Al-Fil.

Dalam Wahyu kedelapan hingga kedelapan belas tersebut di
atas, tidak terdapat kata "Allah." Nanti pada wahyu
kesembilan belas yaitu, Qul Huwa Allahu Ahad, barulah kata
Allah dijelaskan secara rinci, sebagai jawaban terhadap kaum
musyrik yang mempertanyakan tentang Tuhan yang disembah oleh
Nabi Muhammad Saw.


WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Tidak ada komentar: