MAKANAN (1/3)

Makanan atau tha'am dalam bahasa Al-Quran adalah segala
sesuatu yang dimakan atau dicicipi. Karena itu "minuman" pun
termasuk dalam pengertian tha'am. Al-Quran surat Al-Baqarah
ayat 249, menggunakan kata syariba (minum) dan yath'am (makan)
untuk objek berkaitan dengan air minum.

Kata tha'am dalam berbagai bentuknya terulang dalam Al-Quran
sebanyak 48 kali yang antara lain berbicara tentang berbagai
aspek berkaitan dengan makanan. Belum lagi ayat-ayat lain yang
menggunakan kosa kata selainnya.

Perhatian Al-Quran terhadap makanan sedemikian besar,
sampai-sampai menurut pakar tafsir Ibrahim bin Umar Al-Biqa'i,
"Telah menjadi kebiasaan Allah dalam Al-Quran bahwa Dia
menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Esa, serta membuktikan hal
tersebut melalui uraian tentang ciptaan-Nya, kemudian
memerintahkan untuk makan (atau menyebut makanan)."

Lebih jauh dapat dikatakan bahwa Al-Quran menjadikan kecukupan
pangan serta terciptanya stabilitas keamanan sebagai dua sebab
utama kewajaran beribadah kepada Allah. Begitu antara lain
kandungan firman-Nya dalam surat Quraisy (106): 3-4,

Hendaklah mereka menyembah Allah, yang memberi mereka
makan sehingga terhindar dari lapar dan memberi
keamanan dari segala macam ketakutan.

PERINTAH MAKAN

Menarik untuk disimak bahwa bahasa Al-Quran menggunakan kata
akala dalam berbagai bentuk untuk menunjuk pada aktivitas
"makan". Tetapi kata tersebut tidak digunakannya semata-mata
dalam arti "memasukkan sesuatu ke tenggorokan", tetapi ia
berarti juga segala aktivitas dan usaha. Perhatikan misalnya
surat Al-Nisa 14): 4:

Dan serahkanlah mas kawin kepada wanita-wanita (yang
kamu kawini), sebagai pemberian dengan penuh ketulusan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari
mas kawin itu dengan senang hati maka makanlah
(ambil/gunakanlah) pemberian itu, (sebagai makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya.

Diketahui oleh semua pihak bahwa mas kawin tidak harus bahkan
tidak lazim berupa makanan, namun demikian ayat ini
menggunakan kata "makan" untuk penggunaan mas kawin tersebut.
Firman Allah dalam surat Al-An'am (61: 121)

Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah
atasnya (ketika menyembelihnya)

Penggalan ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud
--mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar-- sebagai larangan untuk
melakukan aktivitas apa pun yang tidak disertai nama Allah.
Ini disebabkan karena kata "makan" di sini dipahami dalam arti
luas yakni "segala bentuk aktivitas". Penggunaan kata tersebut
untuk arti aktivitas, seakan-akan menyatakan bahwa aktivitas
membutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan.

Boleh jadi menarik juga untuk dikemukakan bahwa semua ayat
yang didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan makan,
baik yang ditujukan kepada seluruh manusia: Ya ayyuhan nas,
kepada Rasul: Ya ayyuhar Rasul, maupun kepada orang-orang
mukmin: ya ayyuhal ladzina amanu, selalu dirangkaikan dengan
kata halal atau dan thayyibah (baik). Ini menunjukkan bahwa
makanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua sifat
tersebut. Selanjutnya ditemukan bahwa dari sembilan ayat yang
memerintahkan orang-orang Mukmin untuk makan, lima di
antaranya dirangkaikan dengan kedua kata tersebut. Dua
dirangkaikan dengan pesan mengingat Allah dan membagikan
makanan kepada orang melarat dan butuh, sekali dalam konteks
memakan sembelihan yang disebut nama Allah ketika
menyembelihnya, dan sekali dalam konteks berbuka puasa.

Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya --baik ketika berbuka
puasa maupun selainnya-- dapat mengantar sang Mukmin mengingat
pesan-pesan-Nya.

APA YANG HALAL DIMAKAN?

Al-Quran menyatakan,

Dia (Allah) menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi
seluruhnya (QS Al-Baqarah [2]: 29).

Dan Dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu
segala yang ada di langit dan di bumi semua bersumber
dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).

Bertitik tolak dari kedua ayat tersebut dan beberapa ayat
lain, para ulama berkesimpulan bahwa pada prinsipnya segala
sesuatu yang ada di alam raya ini adalah halal untuk
digunakan, sehingga makanan yang terdapat didalamnya juga
adalah halal. Karena itu Al-Quran bahkan mengecam mereka yang
mengharamkan rezeki halal yang disiapkan Allah untuk manusia.

Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang
diturunkan Allah kepada kamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal." Katakanlah,
"Apakah Allah memberi izin kepada kamu (untuk melakukan
itu) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah?" (QS
Yunus [10]: 59).

Pengecualian atau pengharaman harus bersumber dari Allah
--baik melalui Al-Quran maupun Rasul-- sedang pengecualian itu
lahir dan disebabkan oleh kondisi manusia, karena ada makanan
yang dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa raganya. Atas
dasar ini, turun perintah-Nya antara lain dalam surat
Al-Baqarah (2): 168,

Wahai seluruh manusia, makanlah yang halal lagi baik
dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya
setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Rincian pengecualian itu tidak jarang diperselisihkan oleh
para ulama, baik disebabkan oleh perbedaan penafsiran
ayatayat, maupun penilaian kesahihan dan makna hadis-hadis
Nabi Saw.

Makanan yang diuraikan oleh Al-Quran dapat dibagi dalam tiga
kategori pokok, yaitu nabati, hewani, dan olahan.

1. Tidak ditemukan satu ayat pun yang secara eksplisit
melarang makanan nabati tertentu. Surat 'Abasa yang
memerintahkan manusia untuk memperhatikan makanannya
menyebutkan sekian banyak jenis tumbuhan yang telah disiapkan
Allah untuk kepentingan manusia dan binatang.

Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya.
Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air
(dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan
sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi
itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kunna,
kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta
rumput-rumputan, untuk kesenangan kamu dan untuk
binatang ternakmu (QS 'Abasa [80]: 24-32).

Kalaupun ada tumbuh-tumbuhan tertentu, yang kemudian
terlarang, maka hal tersebut termasuk dalam larangan umum
memakan sesuatu yang buruk, atau merusak kesehatan.

2. Adapun makanan jenis hewani, maka Al-Quran membaginya dalam
dua kelompok besar, yaitu yang berasal dari laut dan darat.

Hewan laut yang hidup di air asin dan tawar dihalalkan Allah,
Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14' menegaskan:

Dan Dia (Allah) yang menundukkan laut untuk kamu agar
kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan dan
sebangsanya).

Bahkan hewan laut/sungai yang mati dengan sendirinya (bangkai)
tetap dibolehkan berdasarkan surat Al-Ma-idah [5]: 96:

Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanan
yang berasal dari laut, sebagai makanan yang lezat bagi
kamu dan orang-orang yang dalam perjalanan.

"Buruan laut" maksudnya adalah binatang yang diperoleh dengan
jalan usaha seperti mengail, memukat, dan sebagainya, baik
dari laut, sungai, danau, kolam, dan 1ain-1ain. Sedang kata
"makanan yang berasal dari laut" adalah ikan dan semacamnya
yang diperoleh dengan mudah karena telah mati sehingga
mengapung. Makna ini dipahami dan sejalan dengan penjelasan
Rasul Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim,
At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan lain-lain melalui sahabat Nabi Abu
Hurairah yang menyatakan tentang laut:

Laut adalah suci airnya dan halal bangkainya

Ini menurut banyak ulama sejalan juga dengan firman Allah
dalam surat Al-Ma-idah (5): 96.

Memang, ada ulama yang mengecualikan hewan yang dapat hidup di
darat dan di laut, namun pengecualian tersebut diperselisihkan
para ulama, apalagi ia bukan datang dari Al-Quran, tetapi
riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Saw.

Adapun hewan yang hidup di darat, maka Al-Quran menghalalkan
secara eksplisit al-an'am (unta, sapi, dan kambing), dan
mengharamkan secara tegas babi. Namun ini bukan berarti bahwa
selainnya semua halal atau haram.

Seperti yang diisyaratkan di atas, tentang pengecualian dari
makanan yang dihalalkan, dalam soal ini ditemukan perbedaan
pendapat ulama tentang hewan-hewan darat yang dikecualikan
itu.

Imam Malik misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut,
karena berpegang kepada surat Al-An'am (6): 145,

Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi karena
sesungguhnya semua itu rijs (kotor), atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah...

Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram
dalam batas-batas yang disebut itu, apalagi masih ada
ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang juga memberi
pembatasan serupa seperti surat Al-Baqarah (2): 173.

Imam Syafi'i --misalnya-- berpegang kepada sekian banyak hadis
Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan ayat
tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk
hashr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud
sebagai pengecualian hakiki.

Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip
di atas adalah karena ia rijs (kotor).

Walaupun ilmuwan belum sepenuhnya mengetahui sisi-sisi rijs
(kekotoran) baik lahiriah maupun batiniah yang diakibatkan
oleh babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa segala macam
binatang yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah.
Di sinilah antara lain fungsi Rasul Saw. sebagai penjelas
kitab suci Al-Quran. Surat Al-A'raf (7): 157 melukiskan Nabi
Muhammad Saw. antara 1ain sebagai:

Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang baik-baik, dan
mengharamkan yang khabits (buruk).

Nah, atas dasar inilah dipertemukan hadis-hadis Nabi yang
mengharamkan makanan-makanan tertentu dengan ayat-ayat yang
menggunakan redaksi pembatasan di atas. Misalnya hadis yang
mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang
memiliki cakar (buas), binatang yang hidup di darat dan di
air, dan sebagainya.

Di samping itu, Al-Quran seperti terbaca pada ayat yang lalu,
mengharamkan:

Memakan sembelihan yang disembelih selain atas nama Allah,
atau dalam bahasa ayat lain:

Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak disebut nama
Allah atasnya, karena yang demikian itu adalah
kefasikan (QS Al-An'am [6]: 121).

---------------- (bersambung 2/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Tidak ada komentar: