Tinggalkanlah (Ritual) Shalat, dan (Dirikanlah) Shalat : Sebuah Renungan Awam (PART 1)


Dalam Al-Quran, Surat al-Ankabuuut (29) ayat 45 Tuhan berfirman : Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.


Jika kita merujuk secara harafiah pada firman tersebut, terasa begitu agung dan mulianya akibat dari mendirikan shalat. Dan pada semestinya, seseorang—siapapun, yang telah mendirikan shalat, akhlaknya menjadi mulia, kesadarannya semakin tumbuh-berkembang, dan dalam kehidupan sehari-hari, secara otomatis, dia akan berperilaku lurus.

Tetapi yang sangat membingungkan—dan membuat kita sebagai muslim selalu bertanya—adalah bahwa pada praktiknya, terlalu banyak muslim yang berperilaku amat jauh dari apa yang Tuhan janjikan dalam firman-Nya tersebut. Adakah yang salah? Kenyataan tersebut terasa amat getir, karena efek domino yang timbul berikutnya adalah banyak muslim yang menjadi skeptis terhadap agamanya dan mengabaikan begitu banyak norma-norma Islam : mengingkari larangan-larangan, dan mengabaikan perintah-perintah.

Tentunya ada yang salah, dan secara logis, kita harus menyelidik kepada dimensi manusianya terlebih dahulu. Firman Tuhan dalam Al-Quran adalah sebuah naskah historis yang telah lama hadir, telah lama menjadi pedoman bagi tumbuh dan jayanya bangsa-bangsa di dunia, dan secara etis, sebagai muslim, jelas berdosa mempertanyakan keotentikan Alkitab—yaitu Al-Quran.

Dalam Al-Quran, perintah tentang shalat tertuang dalam Surat al-Baqarah (2), ayat 110 : Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.

Firman Tuhan tersebut berbicara mengenai ‘mendirikan shalat’. Istilah yang dominan terletak pada mendirikan-shalat. Jika kita merujuk pada Thesaurus Bahasa Indonesia(1), kata mendirikan berafiliasi dengan padanan-padanan kata berikut : 1. mencacakkan, menegakkan; 2. memasang, membangun, membentuk, membikin, membuat; mengadakan, mengasaskan, menyelenggarakan; 3. melaksanakan, mengerjakan, menjalankan. Jadi, bisa dianalogikan secara sederhana, bahwa kata mendirikan memiliki konteks makna yang kompleks. Ia mencakup segala bagian-bagian proses dan bangunan yang utuh, tidak sekedar lantai, atau dinding, atau tiang-tiang. Mendirikan shalat berarti menghayati shalat, dan menghayati pesan-pesan agung darinya, dan menegakkan ajaran-ajaran moral dengan konsisten. Mendirikan shalat tidaklah cukup dengan mengerjakan ritual itu lima kali sehari, tetapi juga masih harus diikuti dengan mendirikan akhlak Islam yang agung.

Dan dari pengertian-pengertian tersebut, kita bisa menimbang bahwa kebanyakan muslim—termasuk saya, selama ini, lebih mendekat kepada arti ‘melaksanakan’, ‘mengerjakan’, atau ‘menjalankan’. Kita mengerjakan shalat sebagai sebuah ritual agama, yang dengan logika teknis sederhana, menisbatkan ritual tersebut dengan Surat 29:45 di atas.

Kebanyakan dari kita akan berasumsi, beranggapan, berharap, dan ber-logika bahwa ’setelah mengerjakan shalat, pasti akhlak kita akan bagus, dengan sendirinya’. Sebuah logika yang tak pantas disalahkan secara serentak, tapi perlu dipikirkan dengan amat serius. Benarkah se’pragmatis’ itu? Benarkah se’sederhana’ itu? Benarkan se’bodoh’ itu? Tampaknya tidak! Bahkan nampaknya sangat salah, jika kita komparasikan dengan realita akhlak umat Islam kebanyakan.

Kenyataan janggal dan mengecewakan ini, seringkali membuat saya—dan mungkin banyak muslim, membanding-bandingkan diri dengan umat agama-agama lain. Para Bikku Buddha yang amat zuhud, amat welas-asih bahkan kepada seekor lalat-pun. Para umat Hindu yang toleran. Para umat Kristiani yang nampak hidup damai—dan sejahtera. Kenapa dan ada apa dengan kita? Kita mengklaim diri sebagai umat dari agama final yang lurus dan terang, tetapi kenapa realita kehidupan dan ajaran-formal agama begitu kontras? Korupsi merajalela—dalam kasus Indonesia, pornografi marak dan laris-manis, generasi muda tak berkarakter dan tak berdisplin, kebejatan moral remaja, kekerasan rumat tangga, dan begitu banyak keburukan moral yang sama sekali bertentangan 180 derajat dengan ajaran-ajaran moral formal dari Dinnul Islam.

by: KOMUNITAS PECINTA, PENGHAFAL, DAN PENGAMAL AL-QURAN

Tidak ada komentar: