AKHLAK (3/3)

b. Akhlak terhadap sesama manusia

Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan
dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai
hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal
negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil
harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada
menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di
belakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun
sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu.

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik
daripada sedekah yang disertai dengan sesuatu yang
menyakitkan (perasaan si penerima) (QS Al-Baqarah
[2]: 263).

Di sisi lain Al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya
didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. --misalnya--
dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, namun
dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh
wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh
penghormatan melebihi manusia 1ain. Karena itu, Al-Quran
berpesan kepada orang-orang Mukmin:

Jangan meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi
(saat berdialog), dan jangan pula mengeraskan suaramu
(di hadapannya saat beliau diam) sebagaimana
(kerasnya) suara sebagian kamu terhadap sebagian yang
lain... (QS Al-Hujurat [49]: 2).

Janganlah kamu jadikan panggilan (nama) Rasul di
antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada
sebagian (yang lain) (QS An-Nur [24]: 63).

Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati.

Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau
kebebasan pribadi).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki
rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin
dan memberi salam kepada penghuninya (QS An-Nur [24]:
27).

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak
lelaki dan wanita yang kamu miliki, dan orang-orang
yang belum balig di antara kamu meminta izin kepada
kamu tiga kali (yaitu waktu) sebelum shalat subuh,
ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah
hari, dan sesudah shalat isya ... (QS An-Nur [24):
58).

Salam yang diucapkan itu wajib dijawab dengan salam yang
serupa, bahkan juga dianjurkan agar dijawab dengan salam yang
lebih baik (QS An-Nisa' [4]: 86).

Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, Al-Quran
memerintahkan,

Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia (QS
A1-Baqarah [2]: 83).

Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan
dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang
benar,

Dan katakanlah perkataan yang benar (QS Al-Ahzab
[33]: 70).

Tidak wajar seseorang mengucilkan seseorang atau kelompok
1ain, tidak wajar pula berprasangka buruk tanpa alasan, atau
menceritakan keburukan seseorang, dan menyapa atau
memanggilnya dengan sebutan buruk (baca Al-Hujurat [49]:
11-12) .

Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini
hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan
berpotensi pula melakukan kesalahan. Karena itu, ketika
Misthah --seorang yang selalu dibantu oleh Abu Bakar r.a.--
menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar
dan banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu
Misthah. Tetapi Al-Quran turun menyatakan:

Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka
tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat(-nya),
orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah
dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta
berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah
mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (QS An-Nur [24]: 22).

Sebagian dari ciri orang bertakwa dijelaskan dalam Quran surat
Ali Imran (3): 134, yaitu:

Maksudnya mereka mampu menahan amarahnya, dan
memaafkan, (bahkan) berbuat baik (terhadap mereka
yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya),
sesungguhnya Allah senang terhadap orang yang berbuat
baik.

Di dunia Barat, sering dinyatakan, bahwa "Anda boleh melakukan
perbuatan apa pun selama tidak bertentangan dengan hak orang
lain", tetapi dalam Al-Quran ditemukan anjuran, "Anda
hendaknya mendahulukan kepentingan orang lain daripada
kepentingan Anda sendiri."

Mereka mengutamakan orang lain daripada diri mereka
sendiri, walaupun mereka amat membutuhkan (QS
Al-Hasyr [59]: 9).

Jika ada orang yang digelari gentleman --yakni yang memiliki
harga diri, berucap benar, dan bersikap lemah lembut {terutama
kepada wanita)-- seorang Muslim yang mengikuti
petunjuk-petunjuk akhlak Al-Quran tidak hanya pantas bergelar
demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam
bahasa Al-Quran disebut al-muhsin.

c. Akhlak terhadap lingkungan

Yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang
berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan,
maupun benda-benda tak bernyawa.

Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Quran terhadap
lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.

Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan
sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung
arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap
makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan
mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum
mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada
makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.

Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati
proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses
yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia
bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan,
bahkan dengan kata lain, "Setiap perusakan terhadap lingkungan
harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri."

Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya
diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua
memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan
sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan
yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.

Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am (6): 38 ditegaskan
bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat
seperti manusia juga, sehingga semuanya --seperti ditulis
Al-Qurthubi (W. 671 H) di dalam tafsirnya-- "Tidak boleh
diperlakukan secara aniaya."

Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat
petunjuk Al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan.
Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau
menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa,
tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan
dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan
terbesar.

Apa saja yang kamu tebang dari pohon (kurma) atau
kamu biarkan tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka
itu semua adalah atas izin Allah ... (QS Al-Hasyr
[59]: 5).

Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan manusia kepada
kesadaran bahwa apa pun yang berada di dalam genggaman
tangannya, tidak lain kecuali amanat yang harus
dipertanggungjawabkan. "Setiap jengkal tanah yang terhampar di
bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara, dan setiap
tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan
pertanggungjawaban manusia menyangkut pemeliharaan dan
pemanfatannya", demikian kandungan penjelasan Nabi Saw.
tentang firman-Nya dalam Al-Quran surat At-Takatsur (102): 8
yang berbunyi, "Kamu sekalian pasti akan diminta untuk
mempertanggungjawabkan nikmat (yang kamu peroleh)." Dengan
demikian bukan saja dituntut agar tidak alpa dan angkuh
terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut
untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh
Pemilik (Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.

Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta yang
berada di antara keduanya, kecuali dengan (tujuan)
yang hak dan pada waktu yang ditentukan (QS Al-Ahqaf
[46]: 3).

Pernyataan Tuhan ini mengundang seluruh manusia untuk tidak
hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau
bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus berpikir dan
bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Ia tidak boleh
bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang
terhadapnya. Memang, istilah penaklukan alam tidak dikenal
dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos
Yunani yang beranggapan bahwa benda-benda alam merupakan
dewa-dewa yang memusuhi manusia sehingga harus ditaklukkan.

Yang menundukkan alam menurut Al-Quran adalah Allah. Manusia
tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan
yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.

Mahasuci Allah yang menjadikan (binatang) ini mudah
bagi kami, sedangkan kami sendiri tidak mempunyai
kemampuan untuk itu (QS Az-Zukhruf [43]: 13)

Jika demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi
keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah,
sehingga mereka harus dapat bersahabat.

Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad
Saw. yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu).
Untuk menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad Saw. bahkan
memberi nama semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun
benda-benda itu tak bernyawa. "Nama" memberikan kesan adanya
kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran
untuk bersahabat dengan pemilik nama.

Sebelum Eropa mengenal Organisasi Pencinta Binatang Nabi
Muhammad Saw. telah mengajarkan,

Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap
binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik.

Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih
ada lagi prinsip taskhir, yang berarti penundukan. Namun dapat
juga berarti "perendahan". Firman Allah yang menggunakan akar
kata itu dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 11 adalah

Janganlah ada satu kaum yang merendahkan kaum yang
lain.

Dan Dia (Allah) menundukkan untuk kamu; semua yang
ada di langit dan di bumi semuanya (sebagai rahmat)
dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).

Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk
manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan
merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan
Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia tidak
boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Ia tidak boleh
diperbudak oleh benda-benda sehingga mengorbankan
kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk
selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan
yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan
kepentingannya di akhirat kelak.

***

Akhirnya kita dapat mengakhiri uraian ini dengan menyatakan
bahwa keberagamaan seseorang diukur dari akhlaknya. Nabi
bersabda,

Agama adalah hubungan interaksi yang baik.

Beliau juga bersabda:

Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan
(amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi
akhlak yang luhur (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).[]

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Tidak ada komentar: