Memberikan Barang yang di Cintai


adalah satu ciri manusia yang benar dan manusia yang mendapat petunjuk adalah berani dan mampu memberikan barang yang dicintai. Tidak cukup sebatas pengakuan dan ikrar di bibir bahwa dirinya sudah baik dan benar. Tidak cukup dengan ibadah-ibadah ritual. Lebih dari itu harus dibuktikan dengan kerelaan dan keberanian mengorbankan sesuatu yang dicintainya kepada sesamanya. Dikorbankan untuk anak yatim, orang miskin, musafir dan peminta-minta. Tak terhitung banyaknya kaum miskin dan anak yatim serta peminta-minta terlantar di sekitar kita. Dengan demikian sebenarnya banyak pula peluang yang bisa melapangkan jalan kita kepada kebenaran sejati. Namun sedikit dari kita yang mau dan mampu mengambil peluang-peluang tersebut. Dimungkinkan hal tersebut terjadi, karena ketidaktahuan (ketidakyakinan) mereka akan imbalan syurga yang bakal didapat.

"Bukanlah termasuk golongan kebajikan menghadapkan muka ke arah timur dan barat, tapi yang termasuk golongan kebajikan ialah, beriman kepada Allah, hari akhirat, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, memberikan bantuan harta yang disayanginya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan, peminta-minta, dan memerdekakan perbudakan. Mengerjakan sholat, menunaikan zakat, menepati janji yang telah diperbuat, sabar menderita kemiskinan dan kemelaratan, terutama ketika perang. Itulah orang-orang yang benar keimanannya, dan itu pulalah orang-orang yang taqwa. (Qs. 2 : 177)

"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cinta. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Mengetahui"". (Qs. 3 : 92)

Standar kebajikan yang selama ini banyak dipahami orang, sering hanya terbatas pada ibadah vertikal. Sholat, puasa, haji dipandang sudah cukup untuk meraih syurga. Padahal usaha tersebut baru merupakan salah satu anak tangga menuju kebaikan. Ayat tersebut memberikan batasan, bahwa belum tergolong orang yang benar sehingga menafkahkan harta yang dicintai. Umumnya, jika seseorang memberikan sesuatu pada orang lain diambilkan dari barang yang sudah afkir, tak terpakai atau tidak begitu dibutuhkan. Sedang untuk mencapai derajat di sisi Allah, seseorang harus mampu menundukkan hatinya siap memberikan barang yang dicintainya, yang terbaik bagi dirinya kepada orang lain yang membutuhkan. Dengan standar itu, kita tidak perlu malu mengakui bahwa di antara kita sangat jarang pribadi yang mampu melaksanakannya. Kecuali orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan kekuatan langsung dari Allah.

"Dan bertaqwalah kepada Allah sepenuh kemampuanmu; dengarlah dan taatlah serta nafkahkanlah rezeki yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa yang terpelihara dari kekikiran dirinya 1) . itulah mereka yang beruntung". (Qs. 64 : 16)

1. Maksudnya, yang dapat mengikis habis sifat kikir yang ada pada dirinya.

Kerelaan dan keikhlasan hak milik demi bangsa dan agama, didasari rasa taqwa dan cinta kepada Allah. Sepenuh kemampuan dalam ayat di atas mengandung pengertian untuk semaksimal mungkin berusaha menolong kaum papa, sekalipun harus menyerahkan yang dicintai. Bila kita sudah mampu mendobrak pintu keberatan hati untuk menyerahkan barang yang dicintai, maka lambat laun sifat-sifat kikir akan terkikis. Inilah salah satu manfaat dari perintah memberikan barang yang disayangi kepada sesama. Pada dimensi yang berbeda, kemampuan tersebut juga melahirkan keikhlasan dalam bersedekah. Tidak ada pamrih dan harapan lain kecuali ridlo Allah. Mereka merasa bahwa apa yang mereka nafkahkan itu akan mendekatkan diri mereka kepada Allah serta memperoleh doa restu rasul. Sejalan dengan itu terdapat pada Qs. (Qs . 9 : 99)

Ribuan anak yang terlantar kehidupannya oleh berbagai sebab sosial ekonomi. Di antara mereka ada yang berserakan menjadi pengemis dan gelandangan. Ada pula yang tercecer di jalanan sebagai pengamen dan pedagang asongan. Sebagian lagi ditampung di panti-panti asuhan. Mereka semua membutuhkan uluran kasih sayang dan perhatian kita. Karena itu, jika sholat dan ibadah umat ini sampai kepada Tuhan, tentu tidak bisa tidur nyenyak dan makan enak di rumah mereka yang megah. Sangat besar murka Allah terhadap orang yang mengaku abdi Tuhan, tapi tuli akan jeritan kaum papa. Sebab rintihan tangis kaum miskin, pada hakekatnya adalah “jeritan Tuhan”. Keberanian kita untuk mencintai diri lain seperti kita mencintai diri sendiri, adalah tolok ukur keimanan seseorang. Dari Anas ra. bahwa Nabi saw. bersabda :

لاَيُؤْمِنُ اَحَدَكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَِخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Belum beriman seseorang dari kalian sehingga mencintai saudaranya (sesama manusia) seperti apa yang dicintai untuk dirinya sendiri. (Muttafaq alaih)

Berarti belum ada iman dalam hati kita sebelum kita mampu mencintai diri lain seperti kita mencintai diri sendiri. Keimanan kita masih meragukan kalau ternyata dalam keseharian hanya kebutuhan pribadi yang kita pikir dan utamakan, sedang kebutuhan anak yatim, fakir miskin, perjuangan agama tidak terpikir.

Mari kita menyadari sepenuhnya bahwa harta itu milik Allah, sehingga sewaktu-waktu Sang Pemilik lewat agama dan bangsa membutuhkan, tidak ada setitik keberatanpun menyerahkan kembali. Termasuk tidak segan-segan memberikan makanan yang dicintai dan menyantuni anak yatim, fakir miskin, orang terlantar serta kelompok kaum ardzalun yang lain. Mereka akan mendapatkan doa restu para Rasul karenanya. Sebab kita tahu bahwa cinta fakir miskin adalah akhlak dan sunnah para Nabi.

"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang yang miskin, anak-anak yatim dan anak-anak tawanan. (Qs. 76 : 8)

Tidak sulit bagi kita menemukan mereka, di manapun, kapanpun, jika memang ada niatan hendak bersedekah. Bahkan sampai harta kita habispun, dijamin masih banyak kaum papa yang perlu disantuni. Tapi, banyak dari saudara-saudara kita yang mengaku beragama dan beriman menutup mata atas penderitaan bangsa dan sibuk dengan urusan pribadi masing-masing. Lalu bagaiman dengan kita sudahkah kita melaksanakan perintah tersebut ? Ketika tersaji di depan kita hidangan yang lezat, ingatkah kita kepada anak yatim, fakir miskin dan orang susah yang lain ?

by : KOMUNITAS PECINTA, PENGHAFAL, DAN PENGAMAL AL-QURAN

Tidak ada komentar: