HARI AKHIRAT

HARI AKHIRAT                                             (1/4)
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Ada dua hal pokok berkaitan dengan keimanan yang mengambil
tempat tidak sedikit dalam ayat-ayat Al-Quran. Pertama adalah
uraian serta pembuktian tentang keesaan Allah Swt.; dan kedua
adalah uraian dan pembuktian tentang hari akhir. Al-Quran dan
hadis Nabi Saw. tidak jarang menyebut kedua hal itu saja untuk
"mewakili" rukun-rukun iman lainnya. Perhatikan misalnya:

Dan ada orang-orang yang berkata, "Kami telah beriman
kepada Allah dan hari kemudian", padahal (sebenarnya)
mereka bukan orang-orang mukmin (QS Al-Baqarah [2]:
8).

Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah
adalah yang beriman kepada Allah dan hari kemudian (QS
Al-Tawbah [9]: 18).

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang
Yahudi, Shabiin, dan orang-orang Nasrani, siapa saja
diantara mereka yang beriman kepada Allah, hari
kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada
kekhawatiran untuk mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati (QS Al-Ma'idah [5]: 69).

Perhatikan juga sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim melalui Abu Hurairah yang menyatakan:

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,
maka hendaklah dia berkata benar atau diam. Siapa yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah
ia menghormati tamunya.

Demikian terlihat bahwa keimanan kepada Allah berkaitan erat
dengan keimanan kepada hari kemudian. Memang keimanan kepada
Allah tidak sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari
akhir. Hal ini disebabkan keimanan kepada Allah menuntut amal
perbuatan, sedangkan amal perbuatan baru sempurna motivasinya
dengan keyakinan tentang adanya hari kemudian. Karena
kesempurnaan ganjaran dan balasannya hanya ditemukan di hari
kemudian nanti.

Banyak redaksi yang digunakan Al-Quran untuk menguraikan hari
akhir, misalnya yaum Al-Ba'ts (hari kebangkitan) yaum
Al-Qiyamah (hari kiamat),' yaum Al-Fashl (hari pemisah antara
pelaku kebaikan dan kejahatan), dan masih banyak lainnya.

Al-Quran Al-Karim menguraikan masalah kebangkitan secara
panjang lebar dengan menggunakan beberapa metode dan
pendekatan. Kata "Al-Yaum Al-Akhir" saja terulang sebanyak 24
kali, di samping kata "akhirat" yang terulang sebanyak 115
kali. Belum lagi kata-kata padanannya. Ini menunjukkan betapa
besar perhatian Al-Quran dan betapa penting permasalahan ini.

Banyak juga sisi dari "hari" tersebut yang diuraikan Al-Quran,
dan uraian itu -yang tidak jarang berbeda informasinya; bahkan
berlawanan- diletakkan dalam berbagai surat. Seakan-akan
Al-Quran bermaksud untuk memantapkan keyakinan tersebut
-bagian demi bagian serta fasal demi fasal- dalam jiwa
pemeluknya. Di sisi lain, banyak pula cara yang ditempuh
Al-Quran ketika menguraikan masalah tersebut serta banyak pula
pembuktiannya.

Penafsir besar Al-Biqa'i (809-885 H) mengamati bahwa
"kebiasaan Allah Swt. adalah bahwa Dia tidak menyebut keadaan
hari kebangkitan, kecuali Dia menetapkan dua dasar pokok,
yaitu qudrat (kemampuan) terhadap segala yang sifatnya
mungkin1 dan pengetahuan tentang segala sesuatu yang dapat
diketahui baik yang bersifat kulli (umum) maupun juz'i
(rinci). Karena, siapa pun tidak dapat melakukan kebangkitan
kecuali yang menghimpun kedua sifat tersebut." Untuk
membuktikan hipotesisnya, Al-Biqa'i mengutip surat Al-An'am
(6): 72-73.

Walaupun berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dalam
rangka menyusun disertasi, apa yang dikemukakan di atas tidak
sepenuhnya benar. Namun dapat dikatakan bahwa kebanyakan ayat
Al-Qur'an yang berbicara tentang hari kebangkitan memang
sifatnya demikian, apalagi jika dirangkaikan dengan ayat
sebelum dan sesudahnya. Penyebutan kedua sifat itu agaknya
merupakan argumen singkat menghadapi keraguan atau penolakan
kaum musyrik menyangkut hari kiamat yang berdalih: "Apakah
Tuhan mampu menghidupkan kembali tulang-belulang dan yang
telah menyatu dengan tanah? Apakah Dia mengetahui
bagian-bagian tubuh manusia yang telah berserakan bahkan telah
bercampur dengan sekian banyak makhluk selainnya?"

Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara rinci
seluruh persoalan "hari akhir" yang dikemukakan Al-Quran.
Namun, semoga hal-hal pokok yang berkaitan dengannya dapat
dikemukakan.

AL-QURAN MENGHADAPI PENGINGKAR HARI AKHIR

Menghadapi para pengingkar, Al-Qur'an seringkali mengemukakan
alasan-alasan pengingkaran, baru kemudian menanggapi dan
menolaknya. Hal demikian terlihat dengan jelas dalam uraian
Al-Qur'an tentang hari akhir.

Pada umumnya masyarakat Arab meragukan bahkan mengingkari
adanya hari akhir; sementara yang percaya pun memiliki
kepercayaan keliru.

Mereka berkata: "Jika kami telah menjadi
tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, apakah
benar-benar kami masih akan dibangkitkan dalam bentuk
makhluk yang baru?" (QS Al-Isra, [17]: 49).

Mereka berkata: "Ia (hidup ini) tidak lain kecuali
kehidupan kita di dunia (saja) dan kita tidak akan
dibangkitkan!" (QS Al-An'am [6]: 29).

Bahkan

Mereka bersumpah demi Allah dengan sumpah yang
sungguh-sungguh: "Allah tidak akan membangkitkan orang
yang mati" (QS Al-Nahl [16]: 38).

Aneka ragam cara Al-Qur'an menyanggah pandangan keliru itu,
sekali secara langsung dan di kali yang lain tidak secara
langsung. Dengarkan misalnya Al-Qur'an ketika menyatakan:

Sesungguhnya merugilah orang-orang yang mendustakan
pertemuan dengan Allah. Apabila kiamat datang kepada
mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: "Alangkah
besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami
tentang kiamat"; sambil mereka memikul dosa-dosa
mereka di atas punggung mereka. Sungguh amat buruk apa
yang mereka pikul itu (QS Al-An'am [6]: 31).

Orang-orang kafir (mendustakan) ayat-ayat Allah dan
pertemuan dengan-Nya Mereka itulah yang berputus asa
dari rahmatKu, dan buat mereka siksa yang pedih (QS
Al-'Ankabut [29]: 23).

Anda lihat ayat-ayat di atas dan semacamnya tidak secara
langsung menuding si pengingkar, tetapi kandungan ayat-ayat
itu sedemikian jelas dan tegas menyentuh setiap pengingkar.

Abdul-Karim Al-Khatib dalam bukunya Qadhiyat Al-Uluhiyah baina
Al-Falsafah wa Ad-Din, mengibaratkan gaya bahasa demikian
dengan keadaan satu kelompok yang berbicara tentang
pembunuhan. Ketika itu tampil seorang yang menguraikan
kekejaman pembunuh dan akibat-akibat yang akan dialaminya.
Ketika menguraikan hal tersebut, si pembunuh ikut hadir
mendengarkan ucapan-ucapan tadi. Tentu saja, pelaku pembunuhan
dalam hal ini akan merasa bahwa pembicaraan pada hakikatnya
ditujukan kepadanya walaupun dari segi redaksi tidak demikian.
Namun justru karena itu, hal ini malah bisa membawa pengaruh
ke dalam jiwanya, sehingga diharapkan dapat menimbulkan rasa
takut, atau penyesalan yang mengantarkannya kepada kesadaran
dan pengakuan. Dampak psikologis ini tentu akan berbeda bila
sejak semula pembicara menuding si pelaku kejahatan secara
langsung. Kemungkinan besar ia malahan akan menyangkal. Jadi,
dalam gaya demikian, redaksi-redaksi Al-Quran tidak lagi
mengarah kepada akal manusia, tetapi lebih banyak diarahkan
kepada jiwanya dengan menggunakan bahasa "hati".

Seperti diketahui, bahasa hati tidak (selalu) membutuhkan
argumentasi-argumentasi logis. Karena itu, uraian-uraian
Al-Quran dalam berbagai masalah tidak selalu disertai bukti
argumentatif. Namun hal ini bukan berarti ayat-ayat lain yang
menguraikan hari kebangkitan tidak menggunakan argumentasi
sebagai bahasa untuk akal.

Perhatikan misalnya surat Yasin (36): 78-81 yang mengemukakan
argumentasi filosofis, atau surat Al-Baqarah (2): 259-260,
serta surat Al-Kahf (18): 9-26 yang mengemukakan alasan
historis, atau surat Al-Hajj (22): 5-7 yang menggunakan
analogi, serta surat Al-Najm (53): 31 yang menguraikan
keniscayaannya dari segi tujuan dan hikmah. Berikut ini akan
dikemukakan sekilas beberapa ayat yang menguraikan dalil-dalil
tersebut.

BUKTI-BUKTI KENISCAYAAN HARI AKHIR

Perlukah bukti tentang adanya hari akhir? Kehidupan sesudah
mati pasti adanya. Bukankah makhluk yang termulia adalah
makhluk yang berjiwa? Bukankah yang termulia di antara mereka
adalah yang memiliki kehendak dan kebebasan memilih? Kemudian
yang termulia dari kelompok ini adalah yang mampu melihat jauh
ke depan, serta mempertimbangkan dampak kehendak dan
pilihan-pilihannya. Demikian logika kita berkata. Dari sini
pula jiwa manusia memulai pertanyaan-pertanyaan baru. Sudahkah
semua orang melihat dan merasakan akibat
perbuatan-perbuatannya yang didasarkan oleh kehendak dan
pilihannya itu? Sudahkah yang berbuat baik memetik buah
perbuatannya? Sudahkah yang berbuat jahat menerima nista
kejahatannya? Jelas tidak, atau belum, bahkan alangkah banyak
manusia-manusia baik yang dicambuk oleh kehidupan dengan
cemeti-cemetinya, dan alangkah banyak pula orang-orang jahat
yang disuapi oleh dunia dengan kenikmatan-kenikmatannya.

Kemah-kemah para perusak sangat menyenangkan. Mereka
yang mendurhakai Tuhan (tampak) tenang. Ini semua
dilihat oleh mataku, didengar oleh telingaku dan
kuketahui sepenahnya.

Demikian Nabi Ayyub a.s. yang mengalami kepahitan hidup
mengeluh kepada Tuhan.

Karena itu, demi tegaknya keadilan, harus ada satu kehidupan
baru di mana semua pihak akan memperoleh secara adil dan
sempurna hasil-hasil perbuatan yang didasarkan atas pilihannya
masing-masing. Itu sebabnya Al-Quran menamai hidup di akhirat
sebagai al-hayawan yang berarti "hidup yang sempurna"; dan
kematian dinamainya wafat yang arti harfiahnya adalah
"kesempurnaan."

Sekian banyak ayat Al-Quran yang menjelaskan hakikat di atas,
antara lain:

Sesungguhnya saat (hari kiamat) akan datang. Aku
dengan sengaja merahasiakan (waktu)-nya. Agar setiap
jiwa diberi balasan (dan ganjaran) sesuai hasil
usahanya (QS Thaha [20]: 15).

Orang-orang kafir berkata: "Hari kebangkitan tidak
akan datang kepada kami." Katakanlah: "Pasti datang.
Demi Tuhanku yang mengetahui yang gaib, sesungguhnya
kiamat itu pasti akan datang kepada kamu. Tidak ada
yang tersembunyi bagi-Nya sebesar zarrahpun yang ada
di langit dan di bumi, dan tidak ada pula yang lebih
kecil daripada itu atau lebih besar, kecuali termaktub
dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). Supaya Allah
memberi balasan kepada orang-orang yang beriman dan
beramal saleh. Mereka itu adalah orang-orang yang
baginya ampunan dan rezeki yang mulia; dan orang-orang
yang berusahn (menentang) ayat-ayat Kami dengan
anggapan mereka dapat melepaskan diri dan siksa
(Kami). Mereka itu memperoleh azab yakni (jenis) siksa
yang sangat pedih (QS Saba' [34): 3-5).

Memang ada saja orang-orang yang tidak sabar dan tidak tahan
menunggu. Mereka menghendaki agar perhitungan, ganjaran dan
balasan diadakan segera -paling tidak di dunia ini juga.
Tetapi mereka lupa bahwa hidup dan mati adalah ujian:

(Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk
menguji kamu, siapakah di antara kamu yang paling baik
amalnya (QS Al-Mulk [67]: 2).

Apakah mereka yang ingin segera melihat balasan itu menduga
bahwa si pembunuh akan melangkah jika balasan segera
ditimpakan kepadanya? Kemudian apakah masih bermakna suatu
kebaikan bila segera pula dirasakan kesempurnaan ganjarannya?
Jika demikian di mana letak ujiannya?

Manusia dapat menyadari hal-hal di atas. Namun, Al-Quran masih
tetap melayani mereka yang ragu dengan menampilkan dalil-dalil
yang membungkam mereka. Berikut beberapa di antara dalil-dalil
dimaksud.

---------------- (bersambung 2/4)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Tidak ada komentar: