RASA CINTA PADA DUNIA Part 1


Kehidupan dunia dan akhirat merupakan dua sisi mata uang. Keduanya merupakan satu paket perjalanan yang integral. Ketika seseorang sudah mulai tidak adil pada dirinya dengan hanya memikirkan kehidupan dunianya, maka selamanya dia akan cenderung untuk memikirkan satu sisi kehidupan saja. Sedangkan sisi yang lain yakni akhirat akan terlupakan. Hal ini wajar sebab yang sekarang sudah bisa dirasakan dan dilihat baik segi kesenangan, kemewahan, kebanggaan maupun kemelaratan dan kesengsaraannya adalah apa yang ada di dunia ini. Tentu saja akhirat yang ghoib belum tampak dan belum terasa lebih sering terabaikan. Akibat yang timbul dari ketidaksanggupan manusia menyadarkan dirinya akan persiapan hidup di akhirat sungguh sangat fatal. Apalagi bila kesadaran itu baru lahir setelah hari kebangkitan datang. Karena hanya berbuah kerugian dan penyesalan.


Kecintaan kepada kehidupan dunia yang melalaikan akhirat, disebabkan oleh pemahaman dan keyakinan manusia tentang akhirat yang dangkal dan tidak jelas. Belum masuknya keimanan akhirat ke dalam hati, menjadikan semuanya hanya sebatas bibir. Keyakinan yang bersumberkan berita dari orang orang tua, tokoh agama, dan kepercayaan keturunan. Sehingga tidak ada beda pola pikir dan arah hidup orang yang pada lahirnya percaya akhirat dengan orang yang mengingkarinya (kafir). Sama-sama mencintai dunia karena pada hakekatnya tidak (kurang) yakin akan kehidupan akhirat yang belum kunjung datang. Yang dimiliki hanya kemampuan mengagumi dan menyenangi keindahan dunia.

'Mereka hanya mengetahui kulit kehidupan duniawi saja, sedang intisari kehidupan akhirat mereka abaikan“ 1). (Qs. 30 : 7)

1.Menurut istilah siasat peperangan: Yang terpenting bukanlah kemenangan pertama (sementara), tapi yang lebih penting adalah kemenangan terakhir (selamanya).

Pemahaman yang hanya berdasarkan dari mendengar guru, kiai serta hasil membaca melahirkan keimanan yang setengah-setengah. Rencana-rencana dan cara berpikirnya tidak sampai ke akhirat, mentok di dunia. Buah kehidupan tidak dinikmati utuh, hanya kulit yang mereka geluti. Sedangkan isi (daging) buahnya, karena ketidaktahuannya, diabaikan begitu saja. Sedikit sekali
usaha yang dilakukan untuk mendapatkan, apalagi merasakannya. Padahal sebenarnya kehidupan akhirat itu dijadikan indah hanya dalam pandangan orang kafir yang tidak percaya terhadap kehidupan tersebut.

“Kehidupan dunia ini dibuat indah dalam pandangan orang kafir, sehingga mereka memandang rendah terhadap orang mukmin. Padahal orang yang bertakwa lebih tinggi derajatnya dari pada mereka di akhirat. Dan Allah memberi rizki kepada orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas”. (Qs. 2 : 212)

Kesibukan mereka dengan urusan urusan duniawi menyebabkan mereka begitu tidak siap bila sewaktu-waktu harus meneruskan perjalanan hidupnya ke akhirat. Dalam benak dan pandangannya seolah-olah dunia inilah kehidupan yang riil, nyata. Sedangkan akhirat adalah kehidupan dongeng, tidak nyata. Seakan akan mereka berkata : Itu urusan Tuhan atau itu urusan balakang. Kita lihat sekarang siapa orangnya, di mana tinggalnya, manusia yang tidak terlibat ayat di atas. Sungguh sebuah kenyataan yang patut disayangkan. Sebab kalau kita cermati secara sungguh-sungguh, apa enaknya hidup ini. Tidakkah pada lahirnya saja manusia bekerja keras, mengumpulkan harta dan memenuhi kebutuhan nafsu untuk keresahan, kesibukan macam-macam, lalu pati menjemput dengan tiba tiba. Lalu apa artinya hidup ini jika berakhir sesederhana itu ?

“Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah sebagai hiburan dan permainan saja. Kehidupan yang sebenarnya ialah kehidupan akhirat, kalau mereka itu mengerti. (Qs. 29 : 64)

“Ketahuilah, bahwasannya kehidupan dunia ini hanyalah main-main, senda gurau, bermewah-mewah dan saling membanggakan kekayaan dan nak pinak di antaramu. Ibarat hujan menyirami bumi, tumbuh-tumbuhan menjadi subur menghijau, mengagumkan para petani. Lalu tanaman itu mengering, tampak menguning, kemudian menjadi rapuh dan hancur. Sedang di akhirat kelak, ada azab yang berat bagi mereka yang menggandrungi kehidupan dunia, namun ada pula ampunan dan keridloan Allah bagi yang mau bertobat. Demikianlah kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan palsu belaka”. (Qs. 57 : 20).

Agar bisa memahami dan menerima pandangan yang terkandung dalam ketiga ayat tersebut, kita dituntut untuk mengendapkan hati terlebih dahulu. Menghentikan sejenak perburuan urusan duniawi, mengusahakan tersedianya ruang berpikir untuk menyadarkan diri. Bahwa kehidupan dunia ini hanya permainan dan simulasi. Dalam ilmu Allah, kesenangan yang membahagiakan kita, penderitaan yang menyedihkan, kesuksesan, jabatan dan titel yang membanggakan, sifatnya semu. Kita tentu tidak bisa menutup mata terhadap prosesi kehidupan dengan segala perniknya, yang terbukti semuanya berlaku sementara.

Di saat seseorang yang ada pada puncak semangatnya menjalankan rencana meraih ambisi dan cita-cita, tiba-tiba terhenti total oleh datangnya kematian. Seorang bupati yang baru tiga bulan menjabat, tiba-tiba meninggal karena serangan jantung. Banyak publik figur yang sedang berada pada puncak karir dan publisitasnya, secara tiba-tiba tewas kecelakaan. Sering pula kita saksikan, orang yang dikagumi masyarakat kesuksesan, kecendikiawanan, ketenarannya. Sehingga semua orang memimpikan status dan posisinya. Tapi ternyata di balik itu semua, kesibukan dan ketenaran hanya memberikan kelelahan dan setetes kepuasan batin yang semu pula. Sampai-sampai tidak tersedia waktu buat istirahat dan keluarga, apalagi Allah yang tidak tampak, tentu terlupakan.

Kita harus sadar, bahwa pola pikir dan pandangan manusia sekarang ternyata sudah melenceng jauh dari hakekat dan tujuan hidup semula. Pakem yang benar menetapkan dunia ini hanya sebagai persinggahan sementara. Dan akhiratlah kampung sebenarnya yang abadi. Namun manusia dilupakan syaitan, dengan kesibukan, kemewahan dan fatamorgana kesejahteraan hidup.

“Yang demikian itu karena mereka mencintai kehidupan dunia melebihi kehidupan akhirat. Dan bahwasannya Allah, tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (Qs. 16 : 107)

Ketika kesibukan--kesibukan itu telah selesai dengan datangnya pati, manusia baru terperanjat seolah terbangun dari mimpinya. Baru disadari bahwa mereka melanjutkan perjalanan (pergi) ke akhirat tanpa membawa bekal. Semuanya tertinggal di dunia, hasil kerjanya semuanya dipersiapkan dan dihabiskan untuk kebutuhan hidup di dunia. Akhirnya di sana (akhirat) mereka menderita kerugian dan kemelaratan bersama syaitan yang umumnya disebut neraka. Neraka itu bermakna celaka karena seluruh perbekalan tertinggal di dunia.

by : KOMUNITAS PECINTA, PENGHAFAL, DAN PENGAMAL AL-QURAN

Tidak ada komentar: