Mengingat Allah (Dzikrullah)


Allah Yang Maha Kuasa menggenangi jagad raya. Dia Yang Adhim (Agung). Tidak satu kisi, masa dan ruangpun di dunia ini yang tidak digenangi Allah. Langit dan bumi dipenuhi dan diawasi Allah. Ke manapun manusia dan makhluk lain bergerak di situ ada Allah. Bukan berarti Allah banyak dan berada di mana-mana, tetapi Dzat-Nyalah yang memenuhi alam semesta. Ketauhidan Laa ilaaha illallah/Tiada Tuhan selain Allah, mengandung pengetian yang sangat luas. Eksistensi Tuhan yang tidak dibatasi ruang, waktu dan dimensi massa, membuat keberadaan alam ini maya. Bahwa keberadaan-Nya bukan saja menggenangi kita, tapi juga meniadakan keberadaan kita. Untungnya Dzat Tuhan itu suci dari hukum-hukum dan aksioma alam yang empirik. Seandainya Allah itu tampak, benda padat misalnya, maka kita tidak akan mendapat ruang untuk jasad kasar ini. Soalnya semua semua kisi dari alam ini dipenuhi Dzat Allah.

Karena itulah Allah menggariskan bahwa jika seseorang itu benar-benar beriman dan kelompok manusia yang berpikir, tentu selalu bisa merasakan keberadaan Allah menggenangi. Selalu mengingat dan dekat dengan Allah di saat apapun, sedang duduk, berdiri, berbaring maupun aktifitas lainnya. Layaknya ikan di dalam air yang ke manapun bergerak dan berenang selalu digenangi air. Manusiapun seharusnya merasakan seperti kondisi ikan, karena ke manapun bergerak dan pergi manusia tidak pernah lepas dari ke-Agungan dan ke-Besaran Allah yang memenuhi dan menggenangi alam semesta.

Perasaan digenangi dan diawasi Allah ini melahirkan sikap wira’i (hati-hati) dalam berfikir, berkata dan berprilaku. Terbentuk sifat qona’ah dan hati yang damai, tenang serta sabar dalam menghadapi seluruh materi ujian hidup di dunia. Dan inilah ciri-ciri orang yang benar. Namun rasanya sulit menemukan manusia yang pada waktu duduk, berbaring, berjalan dan kondisi apapun bisa mengingat Allah. Umumnya, seorang pegawai kantor ketika bekerja yang diingat tentu tugas - tugas administrasinya. Seorang pedagang ingat dagangannya, seorang petani ingat pertaniannya, seorang pelajar ingat pelajarannya, demikian seterusnya. Padahal firman Allah:
اِنَّ فِى خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لاََيَاتٍ لأُِوْلِى اْلاَلْبَابِ - اَلَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِى خَلِقِ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (ال عمران : 190 - 191 )
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda tanda kekuasaan Tuhan untuk mereka yang berfikir, - ahli piki itu ialah orang orang yang mengingat Allah sedang berdiri, sedang duduk, berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Kemudian mereka merenung seraya berdo’a: “Wahai Tuhan kami! Tidaklah engkau sia-sia menciptakan ini, Maha Suci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka”. (Qs. 3 : 190 - 191)

Porsi ingatan kepada Allah itu seharusnya melebihi ingatan kita kepada apapun yang ada di dunia ini atau setidaknya sama. Ingatan kepada keluarga, harta, pekerjaan serta hal hal lain semestinya didasarkan atas ingatan kepada Allah. Karena itu merupakan konsekwensi logis. Artinya, bila mau mengingat dan mencintai barang barang, tentu harus mau dan bersedia mengingat dan mencintai pemiliknya. Segala sesuatu yang ada di dunia ini milik dan ciptaan Allah. Bila dalam kesehariannya disibukkan mengejar, mengingat dan mencintai segala pernik kehidupan ini maka konsekwensinya juga harus mengingat serta mencintai Allah sebagai pemiliknya. Karena apa, apabila seorang hanya memikirkan ciptaan Allah saja dan mengharap kesejahteraan dunia saja, maka di akhirat nanti mereka tidak akan ditoleh Allah serta tidak akan mendapat bagian kesejateraan akhirat.

Jangan-jangan hanya lahirnya manusia berucap hidup untuk dunia dan akhirat. Terlihat dari praktek kesehariannya yang diingat, diurus dan yang berputar putar dalam benaknya urusan dunia semata. Sementara urusan (ingatan)kepada Allah dan akhirat sama sekali tidak terlintas dalam hatinya. Tidak bijaksana kiranya kalau kita berkelit dari hal ini. Sebab diakui atau tidak inilah kenyataan umat manusia. Hampir tidak ada orang yang bisa mengingat dan mencintai Allah seperti mereka mengingat dan mencintai anak, istri, harta atau hal lain di dunia ini. Manusia bisa menghitung sendiri, dalam sehari semalam, berapa detik, menit dan jam rotasi pemikirannya untuk hal hal lain. Tentu, jauh lebih banyak waktunya untuk hal dan urusan lain dari pada Allah.

Ungkapan ini bukan memvonis, tapi sebuah kenyataan wajar yang terjadi di masyarakat. Tanyakan pada diri masing masing, lebih banyak mana selama ini ingatan cinta kepada Allah dibandingkan dengan sesuatu yang tampak dan dapat dirasakan secara lahir di sekeliling kita ? Jawabannya (bila jujur) pasti lebih banyak kepada lain lain dari pada Allah. Oleh karena itu kesadaran dan perbaikan lebih penting untuk dimiliki daripada mencari dalih pembenaran sesuatu yang salah. Tapi semuanya berpulang pada keimanan seseorang. Perintah dan kesadaran untuk mengingat Allah banyak banyak saat apapun itu hanya bisa dijalankan oleh orang yang beriman saja.

يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا ( الاحزاب : 41 )
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman ! Tingkatkanlah sering-sering daya ingatanmu kepada Allah. (Qs. 33 : 41)

Dengan dasar kaca ayat ayat diatas di manakah posisi kita, adakah iman dalam hati kita ? Kalau ingatan dan cintanya lebih banyak kepada lain lain dari pada Allah dan hari akhir berarti belum ada iman dalam hatinya. Apabila perputaran otak dan hati kita jauh dari Allah, maka DIA akan membiarkan syaitan untuk menemani (menguasai) manusia. Seperti ayat berikut :

وَمَنْ يَّعْشُ عَنْ ذِكْرِالرَّحْمنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَاناً فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ (الزخرف : 36)
Barangsiapa yang berpaling dari ingatan kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. (Qs. Az Zukhruf 36)

Dan jika seseorang sudah ditemani syaitan, maka akan semakin jauh dari kebenaran Allah. Tidak ada kesempatan sholat secara berjamaah, tidak tersisa waktu untuk mengaji. Tidak kunjung mampu mengembangkan kerukunan, juga lupa untuk bersedekah. Telah mampukah kita merasakan kehadiran Allah di sekeliling kita setiap saat seperti ayat-ayat di atas ? Kalau belum, sudah saatnya kita mencoba untuk melaksanakn seeruan Allah itu agar syaitan tidak memiliki kesempatan menemani dan menguasai kita.

by : KOMUNITAS PECINTA, PENGHAFAL, DAN PENGAMAL AL-QURAN

Tidak ada komentar: